Analisis Mendalam "Hendri-hendri" dalam Budaya Nias
Konteks Budaya Nias dan Tradisi Lisan
Budaya Nias, yang secara lokal dikenal sebagai Hada atau Böwö, merupakan sistem nilai dan praktik yang komprehensif, mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Salah satu manifestasi paling menonjol dari tatanan budaya ini adalah adat istiadat perkawinan, yang disebut Böwö Wangowalu. Tradisi perkawinan di Nias bersifat eksogami, yang berarti mempelai pria harus melunasi mas kawin kepada semua pihak yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mempelai wanita, terutama dari pihak ibunya.[1] Struktur adat yang terperinci ini menunjukkan sistem sosial yang sangat terstruktur dan berpedoman kuat pada tradisi leluhur.
Dalam kerangka budaya Nias yang kaya, tradisi lisan memegang peranan sentral. Masyarakat Nias sangat menjunjung tinggi hubungan antar sesama manusia, sebuah prinsip yang didasari oleh masi-masi atau kasih sayang, dan menjadi pedoman hidup yang termaktub dalam fondrakö, kode etik dan hukum adat Nias.[2] Berbagai bentuk tradisi lisan, seperti mitos, legenda, fabel, dan hoho (syair puitis yang dilagukan), dianggap suci. Mereka berfungsi sebagai pedoman kebijaksanaan hidup, sumber pengetahuan tentang asal-usul, sejarah, hukum, dan adat istiadat, serta diwariskan secara turun-temurun untuk melestarikan identitas budaya.[3] Keberadaan hendri-hendri harus dipahami dalam konteks kekayaan tradisi lisan ini.
Hendri-hendri adalah salah satu bentuk musik vokal yang paling penting dalam upacara perkawinan adat Nias, yang dikenal sebagai Sinunö Falöwa. Bersama dengan bölihae dan fangowai, hendri-hendri memiliki dampak signifikan terhadap kemurnian dan keaslian pesta adat perkawinan.[4] Penutur adat Nias sering mengibaratkan bahwa tanpa hendri-hendri, acara perkawinan akan terasa hambar, seperti masakan tanpa garam. Perumpamaan ini menggarisbawahi bahwa hendri-hendri bukan sekadar elemen pelengkap atau hiburan semata, melainkan komponen vital yang menentukan "kemurnian" dan "keberhasilan" acara adat. Hal ini menunjukkan bahwa hendri-hendri memiliki fungsi ritualistik atau esensial yang mendalam, dan ketiadaannya dapat membuat upacara terasa tidak lengkap atau kurang otentik di mata komunitas Nias. Oleh karena itu, penguasaan hendri-hendri oleh pihak Sowatö (tuan rumah) maupun Tome (tamu) menjadi sangat esensial untuk kelancaran dan keabsahan upacara.
Definisi dan Karakteristik "Hendri-hendri"
Secara definisi, hendri-hendri merupakan tuturan yang disampaikan secara halus dan berfungsi sebagai tambahan atau pelengkap acara, bukan sebagai bagian utama dari suatu perhelatan.[5] Meskipun demikian, sifatnya sebagai "pelengkap" tidak mereduksi signifikansinya dalam konteks adat Nias. Bentuk dan penyampaian hendri-hendri memiliki karakteristik yang khas. Tuturan ini lebih menyerupai syair yang dinyanyikan dan memiliki nada (note) yang spesifik, berbeda dari nada bicara biasa. Ini menjadikannya sebagai bentuk musik vokal murni, yang berarti tidak menggunakan alat musik tertentu sebagai pengiring.
Struktur hendri-hendri terdiri dari Töi zununo (lirik) dan Ni dunö-dunö (sahutan)[6], yang secara inheren membentuk format tanya jawab bersahut-sahutan antara pihak tamu dan pihak tuan rumah. Meskipun hendri-hendri didefinisikan sebagai "tuturan halus" dan "pelengkap acara," fakta bahwa ia dinyanyikan dengan nada khusus dan merupakan bagian dari musik vokal murni menunjukkan bahwa ia adalah bentuk seni pertunjukan lisan yang terstruktur, bukan sekadar percakapan biasa. Aspek performatif dan estetika yang signifikan ini menuntut keahlian khusus dari penuturnya, mengangkatnya menjadi sebuah bentuk seni lisan yang kompleks.
Dari segi sifat tuturan, hendri-hendri menggunakan jenis tindak tutur lokusi. Ini berarti ucapan yang disampaikan memiliki makna yang eksplisit, gamblang, terus terang, dan tegas. Namun, pemahaman penuh atas maknanya seringkali harus dilihat dari konteks keseluruhan acara serta niat penutur.
Fungsi dan Konteks Pelaksanaan "Hendri-hendri"
Hendri-hendri memainkan peran utama dalam upacara pernikahan adat Nias (Böwö Wangowalu), berfungsi sebagai media komunikasi yang esensial. Pelaksanaannya bertujuan untuk meramaikan acara dan menjadi tuturan yang membuktikan kegembiraan tulus antara kedua belah pihak, baik sowatö (tuan rumah) maupun tamu. Lebih dari sekadar media komunikasi, hendri-hendri juga memiliki fungsi sosial dan budaya yang lebih luas. Tradisi ini berperan sebagai pengesahan lembaga sosial, memastikan kesinambungan budaya dan norma sosial, serta berkontribusi pada pengintegrasian masyarakat. Peran ini menunjukkan bahwa hendri-hendri berfungsi untuk memperkuat struktur sosial dan hierarki dalam komunitas Nias. Melalui ritual verbal ini, status, peran, dan hubungan antar individu atau kelompok ditegaskan dan diakui secara publik, yang sangat krusial untuk menjaga tatanan sosial dan kohesi komunitas.
Dalam konteks pelaksanaan yang lebih spesifik, hendri-hendri mengiringi beberapa tahapan penting dalam upacara adat:
- Penyambutan Tamu (Fangowai) dan Pemberian Sirih (Fame'e Afo): Hendri-hendri menyertai ucapan selamat datang (Fangowai) dan prosesi pemberian sirih (Fame'e Afo), serta penerimaan sirih (Fanema Afo).[7] Tujuannya adalah untuk menyatakan sambutan sukacita yang hangat kepada rombongan tamu yang datang.[8]
- Pengantaran Babi Jujuran: Ini adalah salah satu momen penting di mana hendri-hendri dituturkan. Pengantaran babi jujuran merupakan bukti kegembiraan antara kedua belah pihak. Pihak tamu akan menuturkan hendri-hendri saat tiba di halaman rumah sowatö untuk memberitahukan kedatangan mereka dan menjelaskan alasan keterlambatan.
- Menyuguhkan Tanda Hormat: Hendri-hendri juga digunakan untuk menyuguhkan tanda hormat pada acara pesta pernikahan, memperkuat ikatan sosial dan menunjukkan penghargaan timbal balik.
Makna dan Simbolisme "Hendri-hendri"
Inti dari hendri-hendri terletak pada dua makna utama yang saling melengkapi dan mencerminkan nilai-nilai luhur budaya Nias:[9]
- Meninggikan Lawan Tutur (Tome) oleh Penutur (Sowatö): Pihak sowatö akan memuji pihak tome atau meninggi-ninggikan mempelai laki-laki, serta memuji babi adat yang diberikan oleh pihak tome. Syair yang digunakan dalam tuturan ini seringkali kaya akan makna kiasan dan terkesan melebih-lebihkan setiap kata untuk menarik perhatian pendengar dan menunjukkan penghargaan yang mendalam.
- Merendahkan Diri oleh Lawan Tutur (Tome): Sebagai respons terhadap pujian dari pihak sowatö, pihak tome akan dengan rendah hati merendahkan diri. Mereka mungkin mengumpamakan babi adat yang mereka bawa tidak sebesar yang dikatakan sowatö, bahkan mengibaratkannya seperti ayam yang hanya lebat bulunya tetapi tidak ada isinya. Tujuan utamanya adalah memuji orang lain di hadapan mereka dan merendahkan diri sendiri di hadapan tamu, sejalan dengan prinsip budaya Nias yang tidak memuji diri sendiri, melainkan membiarkan orang lain yang memuji.
Hendri-hendri sangat kental dengan prinsip kesopanan (politeness maxims) yang menjadi fondasi interaksi sosial di Nias:[10]
- Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim): Prinsip ini terlihat dari rasa hormat sowatö yang menghargai setiap pemberian dari pihak tome. Ini diwujudkan dengan mengurangi keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Sowatö akan menghargai pemberian tome tanpa memandang besar kecilnya, merasa tersentuh oleh cara tome merendahkan diri dan babi mahar yang mereka bawa.
- Maksim Penghargaan (Appreciation Maxim): Prinsip ini melibatkan pengurangan celaan terhadap orang lain dan peningkatan pujian. Pihak sowatö menggunakan bahasa yang baik dan santun terhadap tome, memastikan kata-kata yang diucapkan tidak bermaksud mengejek atau merendahkan pihak manapun. Ini adalah tindakan untuk menghargai orang lain dan menjaga perasaan tamu dengan bahasa lisan yang sopan dan santun.
- Maksim Kesederhanaan/Kerendahan Hati (Modesty Maxim): Peserta tutur diharapkan bersikap rendah hati dengan mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Hal ini terlihat jelas dari pihak tome yang selalu merendahkan diri sebagai respons terhadap pujian yang diberikan oleh sowatö.
Selain prinsip kesopanan, hendri-hendri juga mengandung makna simbolik yang lebih dalam, seperti Geluaha Wo Fosumange (Makna Penghormatan), Geluaha Wo Haragoi (Makna Menghargai), dan Geluaha Wahasara Dödö (Makna Kesatuan Hati).[11] Makna-makna ini mencerminkan nilai-nilai budi pekerti, estetika, dan komunikasi yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Nias.
Penggunaan gaya bahasa yang kompleks seperti litotes, hiperbola, personifikasi, dan metafora dalam hendri-hendri menunjukkan bahwa komunikasi dalam budaya Nias, khususnya dalam konteks adat, adalah sebuah seni yang sangat dihargai dan bukan sekadar pertukaran informasi. Hal ini mencerminkan kedalaman pemikiran dan apresiasi terhadap keindahan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai sosial dan emosi yang rumit. Bahasa kiasan dan perumpamaan yang digunakan tidak hanya memperindah tuturan, tetapi juga memungkinkan penyampaian pesan yang mendalam secara tidak langsung, menghormati sensitivitas sosial, dan menunjukkan kecerdasan verbal penutur.
Konteks Sejarah dan Evolusi "Hendri-hendri"
Meskipun hendri-hendri merupakan tradisi lisan yang mengakar kuat dalam budaya Nias, informasi spesifik mengenai asal-usul kuno atau evolusi historisnya secara langsung tidak tersedia dalam bahan penelitian yang disajikan. Beberapa dokumen membahas sejarah suku atau tradisi lisan Nias secara umum, seperti kisah pelayaran dan perdagangan suku Chaniago di Pulau Nias yang mencerminkan kolaborasi lintas budaya,[12] atau kumpulan cerita rakyat yang mencakup peran sowatö dan tome.[13] Namun, narasi-narasi ini tidak secara eksplisit melacak jejak historis hendri-hendri itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan hendri-hendri sebagai bagian dari tradisi lisan yang lebih luas seperti sinunö falöwa dan amaedola (proverb/saying/story) menunjukkan bahwa praktik ini telah diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Keberadaannya bersama bentuk-bentuk verbal artistry lain seperti hoho, ngenu-ngenu, dan lailö mengindikasikan bahwa hendri-hendri adalah manifestasi dari tradisi lisan yang sudah lama ada dan sangat dihargai dalam masyarakat Nias. Hal ini mencerminkan apresiasi mendalam terhadap seni berbahasa dan pertunjukan lisan sebagai sarana transmisi budaya dan nilai-nilai sosial.
Variasi dan Dialek "Hendri-hendri"
Pertanyaan mengenai variasi regional atau dialek dalam hendri-hendri, khususnya antara Nias Utara dan Selatan, merupakan area yang menarik untuk penelitian linguistik dan antropologi. Bahan penelitian yang tersedia menyebutkan adanya kajian dialektologi bahasa Nias secara umum dan menunjukkan bahwa tradisi lisan lain seperti maena memiliki perbedaan syair antar daerah di Pulau Nias (misalnya, antara Kabupaten Nias Utara, Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias Selatan, dan Nias Barat).[14] Namun, secara spesifik untuk hendri-hendri, informasi mengenai variasi regional atau perbedaan dialeknya tidak tersedia dalam dokumen yang diberikan.[15] Ketiadaan data ini menunjukkan adanya celah dalam dokumentasi dan penelitian yang ada, meskipun kemungkinan adanya variasi tersebut sangat terbuka mengingat keragaman dialek dan tradisi lisan lainnya di Nias. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memetakan dan menganalisis potensi perbedaan ini.
Relevansi Kontemporer dan Upaya Pelestarian
Di era modern, hendri-hendri menghadapi tantangan serius yang mengancam kelestariannya. Keberadaan tradisi ini mulai memudar dan eksistensinya semakin berkurang, seringkali digantikan oleh prosesi adat modern, lagu-lagu, dan tarian kontemporer. Penurunan ini bukan semata-mata karena kurangnya minat, melainkan merupakan konsekuensi langsung dari perubahan praktis dalam gaya hidup dan preferensi masyarakat. Sebagai contoh, kemajuan transportasi modern memungkinkan rombongan tome (tamu) untuk tidak lagi berjalan kaki menuju rumah sowatö, yang secara langsung mengurangi kesempatan untuk menampilkan lagu-lagu pernikahan seperti bölihae yang secara tradisional mengiringi perjalanan tersebut. Pergeseran ini secara tidak langsung juga memengaruhi frekuensi dan konteks pelaksanaan hendri-hendri.
Penurunan ini memiliki signifikansi yang lebih dalam daripada sekadar hilangnya sebuah pertunjukan budaya. Karena hendri-hendri merupakan wadah yang menghidupkan dan mentransmisikan nilai-nilai inti budaya Nias, seperti saling menghargai, kerendahan hati, dan keharmonisan sosial, pemudarannya dapat mengindikasikan potensi erosi prinsip-prinsip fundamental masyarakat. Apabila hendri-hendri yang sangat memengaruhi "kemurnian" pesta adat perkawinan semakin jarang dilaksanakan, hal ini dapat menimbulkan persepsi hilangnya integritas budaya dalam upacara modern. Dalam menghadapi tantangan ini, upaya pelestarian menjadi krusial. Saat ini, penelitian mengenai hendri-hendri masih sangat minim, yang menghambat pemahaman mendalam dan strategi pelestarian yang efektif. Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat lokal dan generasi muda memahami hendri-hendri dan maknanya.
Selain itu, ada seruan untuk tindakan proaktif dari pemerintah dan komunitas adat. Pembentukan peraturan daerah (Perda) tentang pengakuan dan perlindungan budaya Kepulauan Nias, termasuk hendri-hendri, dianggap sangat penting untuk menentukan nasib budaya ini di masa depan. Langkah-langkah seperti pendaftaran hak cipta untuk budaya-budaya ini juga diusulkan sebagai penguat pembuktian kepemilikan dan perlindungan. Upaya ini menunjukkan pengakuan terhadap nilai tangible dan intangible dari hendri-hendri dan tradisi Nias lainnya, serta pendekatan manajemen warisan budaya yang lebih terstruktur dalam menghadapi ancaman modernisasi. Kurangnya pengenalan hendri-hendri dalam lingkungan pendidikan, baik informal maupun formal, juga diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi pada penurunannya, menunjukkan perlunya integrasi budaya ini ke dalam kurikulum pendidikan.[16]
Kesimpulan
Hendri-hendri adalah sebuah tradisi lisan yang sangat kompleks dan vital dalam budaya Nias, khususnya dalam upacara perkawinan adat. Lebih dari sekadar pelengkap acara, ia merupakan bentuk seni pertunjukan vokal yang terstruktur, kaya akan makna, dan berfungsi sebagai media komunikasi yang menghidupkan suasana sukacita. Inti dari hendri-hendri terletak pada dinamika timbal balik antara meninggikan lawan tutur dan merendahkan diri, sebuah praktik yang secara mendalam mencerminkan prinsip-prinsip kesopanan Nias seperti kedermawanan, penghargaan, dan kerendahan hati. Penggunaan gaya bahasa yang canggih, termasuk litotes, hiperbola, personifikasi, dan metafora, menegaskan statusnya sebagai bentuk seni verbal yang sangat dihargai, yang tidak hanya menyampaikan pesan tetapi juga menunjukkan kecakapan linguistik dan apresiasi estetika.
Meskipun sejarah kuno dan variasi regionalnya belum terdokumentasi secara ekstensif dalam bahan yang tersedia, posisi hendri-hendri dalam jaringan tradisi lisan Nias yang luas menunjukkan akar budaya yang dalam. Namun, tradisi ini menghadapi tantangan signifikan di era modern, dengan keberadaannya yang memudar akibat perubahan gaya hidup, adopsi hiburan kontemporer, dan kurangnya transmisi melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Penurunan ini berpotensi mengikis nilai-nilai sosial fundamental yang diwariskan melalui praktik hendri-hendri, serta mengurangi "kemurnian" dan keaslian upacara adat Nias.
Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan upaya pelestarian hendri-hendri. Ini memerlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mendokumentasikan dan menganalisis seluruh aspeknya, serta inisiatif proaktif seperti pembentukan peraturan daerah dan pendaftaran hak cipta untuk melindungi warisan budaya ini. Integrasi hendri-hendri ke dalam sistem pendidikan juga dapat memastikan transmisi pengetahuan dan apresiasi kepada generasi mendatang. Dengan demikian, hendri-hendri tidak hanya akan bertahan sebagai artefak budaya, tetapi terus berfungsi sebagai pilar yang menopang identitas dan nilai-nilai luhur masyarakat Nias.
[2]Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Nias dalam Maena pada Upacara Falöwa | Diglosia, accessed July 3, 2025, https://diglosiaunmul.com/index.php/diglosia/article/download/215/146
[3]CBR Mk. Bahasa Nias Dan Tradisi Lisan Mira Lengkap | PDF - Scribd, accessed July 3, 2025, https://id.scribd.com/document/672503141/Cbr-Mk-Bahasa-Nias-Dan-Tradisi-Lisan-Mira-Lengkap
[4]Makna Simbolik Tradisi Sinunö Falöwa Dalam Adat Pernikahan Masyarakat Nias di Kota Gunung Sitoli - Yayasan Haiah Nusratul Islam, accessed July 3, 2025, https://journal.yayasanhaiahnusratulislam.or.id/index.php/psikotes/article/download/268/182/1404
[5]Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya ...
[6]Hendri-hendri Sebagai Media Komunikasi Pada Upacara Pernikahan Dalam Fondrakõ Laraga Di Desa Saewe Kota Gunungsitoli Nias - Unimed Repository, accessed July 3, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/59611/
[7]Fangowai ba Fame'e Afo ba Danö Niha - Wikipedia, accessed July 3, 2025, https://nia.wikipedia.org/wiki/Fangowai_ba_Fame%27e_Afo_ba_Dan%C3%B6_Niha
[8]Nim. 2151210018 Bab I | PDF - Scribd, accessed July 3, 2025, https://id.scribd.com/document/576293940/8-NIM-2151210018-BAB-I
[9]Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya ...
[10]Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya ...
[11]Hendri-hendri Sebagai Media Komunikasi ...
[12]Riwayat Suku Chaniago di Pulau Nias: Kisah Datuk Raja Ahmad dan Perjalanan Sejarahnya - PASBANA, accessed July 3, 2025, https://www.pasbana.com/2024/12/riwayat-suku-chaniago-di-pulau-nias.html
[13]WB - Nia - Hendri-Hendri Ba Wame'e Afo - Wikimedia Incubator | PDF - Scribd, accessed July 3, 2025, https://id.scribd.com/document/611703684/Wb-nia-Hendri-hendri-Ba-Wame-e-Afo-Wikimedia-Incubator
[14]Jurnal Kata: Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya 170 ANALISIS MAKNA SYAIR MAENA ZOWATÖ PADA PESTA PERNIKAHAN DI KABUPATEN NIAS, accessed July 3, 2025, https://jurnal.pbs.fkip.unila.ac.id/index.php/Kata/article/download/126/20/510
[15]HENDRI Hendri | PDF - Scribd, accessed July 3, 2025, https://www.scribd.com/document/685742315/HENDRI-hendri
[16]Mendorong Terbentuknya Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Budaya Kepulauan Nias dan Hak Ciptanya - Kompasiana.com, accessed July 3, 2025, https://www.kompasiana.com/jaya15105/5ea39043d541df17b406d382/mendorong-terbentuknya-peraturan-daerah-tentang-pengakuan-dan-perlindungan-terhadap-budaya-kepulauan-nias-serta-hak-ciptanya.

Tidak ada komentar: