Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

Video

Gema Empati: Mengurai Makna Peribahasa Nias tentang Penderitaan Bersama

"Baya tödöu baya tödö, baya tödöu na ya'ugö, na khömö zimane da'ö, ofetu zanörö fönö, akhozi zombaya dögö,"


Peribahasa Nias, "Baya tödöu baya tödö, baya tödöu na ya'ugö, na khömö zimane da'ö, ofetu zanörö fönö, akhozi zombaya dögö," menawarkan pernyataan mendalam tentang keterhubungan manusia. Bila diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia, artinya: "Bayangkanlah jika hal itu terjadi kepadamu, yang menginjak ranting kering pasti mendengar bunyi patahan, yang memegang kayu bakar yang masih ada apinya pasti terbakar." Ungkapan yang kuat ini segera menyampaikan makna intinya: rasa keprihatinan dan empati yang mendalam terhadap orang lain yang mengalami malapetaka, kesedihan, atau kedukaan. Ini menjadi landasan untuk memahami empati bukan hanya sebagai perasaan yang jauh, tetapi sebagai respons yang segera, hampir fisik, terhadap penderitaan orang lain.


Artikel ini bertujuan untuk menggali lebih dari sekadar terjemahan harfiah dari Amaedola (peribahasa Nias) ini untuk mengeksplorasi akar budayanya yang dalam, kekayaan metaforisnya, dan bagaimana ia mencerminkan nilai-nilai komunal masyarakat Nias tentang tanggung jawab bersama dan keterhubungan. Dengan mengkaji kearifan tradisional ini dalam konteks budayanya yang spesifik, sebuah pelajaran abadi tentang keharusan kasih sayang terungkap.



Kekuatan peribahasa Nias terletak pada citra yang jelas dan sensorik: "na khömö zimane da'ö, ofetu zanörö fönö, akhozi zombaya dögö" (jika itu terjadi padamu, yang menginjak ranting kering pasti mendengar bunyi patahan, yang memegang kayu bakar yang masih ada apinya pasti terbakar). Metafora ini tidak sembarangan; mereka dipilih dengan cermat untuk menyampaikan dimensi penderitaan dan respons empati yang spesifik.



Menginjak Ranting Kering (ofetu zanörö fönö)


Metafora ini berbicara tentang dampak langsung, seringkali terdengar, dan tak terbantahkan dari kedekatan dengan kesusahan. Ranting kering mudah patah, menghasilkan suara yang khas. Ini melambangkan kerapuhan seseorang yang mengalami kemalangan dan pengakuan yang tak terhindarkan atas rasa sakit mereka oleh orang-orang di sekitarnya. Ini menyampaikan bahwa bahkan kedekatan insidental dengan penderitaan membuat seseorang sadar, dan kesadaran ini membawa tanggung jawab implisit untuk memperhatikan dan bereaksi. Suara itu berfungsi sebagai sinyal yang tak terbantahkan, panggilan untuk perhatian yang tidak dapat diabaikan. Tindakan menginjak menyiratkan pertemuan yang tidak disengaja atau insidental, namun suara itu pasti akan terdengar. Ini menyoroti bahwa bahkan kedekatan pasif dengan penderitaan membuat seseorang sadar, dan kesadaran membawa tanggung jawab implisit, menunjukkan bahwa dalam budaya Nias, seseorang tidak bisa begitu saja tetap tidak tahu tentang penderitaan orang lain dalam komunitas mereka.


Memegang Kayu Bakar Menyala (akhozi zombaya dögö)


Metafora ini meningkatkan dampak dari sekadar pengamatan menjadi pengalaman langsung, menyakitkan, dan tak terhindarkan. Kayu bakar adalah elemen umum dan penting dalam kehidupan sehari-hari dan ritual di banyak budaya. Namun, ketika menyala, itu menandakan penderitaan yang aktif dan menghabiskan. "Memegang" itu menyiratkan interaksi yang lebih dekat, lebih berkelanjutan, dan lebih intim dengan kemalangan. "Terbakar" adalah konsekuensi langsung dan mendalam, menandakan bahwa keterlibatan intim dengan kesedihan mendalam orang lain pasti akan memengaruhi kesejahteraan diri sendiri. Citra ini bergerak melampaui pemahaman intelektual ke pengalaman sensorik, hampir fisik, dari rasa sakit yang dibagikan. Ini menunjukkan bahwa empati sejati dalam budaya Nias tidak hanya kognitif tetapi sangat afektif, memengaruhi "hati" atau keadaan emosional seseorang. Ini menekankan bahwa mengabaikan penderitaan semacam itu sama tidak mungkinnya dengan memegang kayu bakar tanpa terbakar.


Berbeda dengan peribahasa Barat yang umum "berjalan satu mil dengan sepatu orang lain," yang menyiratkan pilihan yang disengaja dan sadar untuk memahami perspektif orang lain, metafora peribahasa Nias tentang "menginjak ranting kering" dan "memegang kayu bakar menyala" menyampaikan konsekuensi yang tak terhindarkan dari kedekatan. Seseorang tidak memilih untuk mendengar ranting patah jika mereka menginjaknya, juga tidak memilih untuk terbakar oleh kayu jika mereka memegangnya. Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan dunia Nias, menyaksikan atau berada di dekat penderitaan secara otomatis melibatkan pengamat, menjadikan empati kurang sebagai kebajikan opsional dan lebih sebagai respons manusia yang inheren dan tak terhindarkan yang didikte oleh keterhubungan. Rasa sakit tidak hanya dipahami; itu dirasakan atau didengar sebagai akibat langsung dari berada di ruang yang sama, menuntut respons. Pilihan yang disengaja dari "ranting kering" (membangkitkan suara) dan "kayu bakar menyala" (membangkitkan panas dan rasa sakit) sebagai metafora, menekankan sifat penderitaan yang nyata dan sensorik serta dampaknya. Ini berbeda dengan deskripsi rasa sakit yang lebih abstrak atau intelektual. Dengan mendasarkan pengalaman pada sensasi fisik langsung, peribahasa ini membuat konsep penderitaan bersama sangat mudah dipahami dan mendalam. Ini menggarisbawahi bahwa kemalangan bukanlah konsep yang jauh tetapi sesuatu yang memiliki dampak langsung dan terasa bagi mereka yang berada di sekitarnya, sehingga menuntut respons yang berakar pada kesadaran sensorik daripada pengamatan yang terpisah.


Nuansa Budaya Empati


Meskipun empati adalah konsep universal yang ditemukan di berbagai budaya, peribahasa Nias menunjukkan bentuk empati yang kurang tentang pemahaman intelektual dan lebih tentang dampak kedekatan yang tak terhindarkan dan mendalam terhadap penderitaan. Penekanan Nias pada "ucapan hati" (tödö) yang lebih lanjut menggambarkan budaya di mana ekspresi emosional dan responsivitas adalah inti interaksi sosial dan pemeliharaan ikatan komunal. Frasa pembuka peribahasa, "Bayangkanlah jika hal itu terjadi kepadamu...", secara langsung selaras dengan definisi empati "seolah-olah". Ini bukan tentang menjadi penderitaan orang lain, tetapi secara akurat memahami kerangka acuan internal mereka "seolah-olah seseorang adalah orang itu, tetapi tanpa pernah kehilangan pengakuan bahwa itu seolah-olah saya terluka atau senang". Peribahasa Nias, dengan metafora suara dan pembakaran yang mendalam, mendorong pengalaman "seolah-olah" ini ke tingkat sensorik dan segera. Ini membuat rasa sakit yang dibayangkan terasa lebih langsung dan nyata, sehingga mendorong respons empati yang lebih kuat dan lebih segera, menekankan hubungan yang mendalam dan terasa daripada hubungan yang murni intelektual.


Peribahasa Nias "Baya tödöu baya tödö, baya tödöu na ya'ugö, na khömö zimane da'ö, ofetu zanörö fönö, akhozi zombaya dögö" berdiri sebagai bukti kuat pemahaman mendalam masyarakat Nias tentang keterhubungan manusia. Metafora yang jelas dan sensorik secara efektif menyampaikan sifat penderitaan bersama yang segera dan tak terhindarkan, bergerak melampaui pemahaman intelektual belaka ke pengalaman yang mendalam dan terasa.


Amaedola ini jauh lebih dari sekadar pepatah sederhana; ini adalah artefak budaya yang merangkum pemahaman mendalam masyarakat Nias tentang pengalaman manusia yang sama, etos komunal mereka, dan keharusan sosial untuk menanggapi kesusahan. Ini mencerminkan budaya di mana empati bukan hanya kebajikan individu tetapi terjalin ke dalam tatanan kehidupan sosial, diperkuat oleh hukum adat seperti Fondrakö dan terus-menerus ditransmisikan melalui tradisi lisan yang hidup.


Di dunia yang semakin mengglobal, kearifan abadi yang tertanam dalam peribahasa Nias ini memiliki relevansi universal. Ini berfungsi sebagai pengingat yang kuat bahwa pengalaman manusia pada dasarnya saling terkait, dan kasih sayang sejati membutuhkan tidak hanya pemahaman intelektual, tetapi pengakuan mendalam atas rasa sakit orang lain. Ini mendorong semua untuk "merasakan bersama" mereka yang menderita, menumbuhkan komunitas global yang lebih empatik dan saling mendukung.


Gema Empati: Mengurai Makna Peribahasa Nias tentang Penderitaan Bersama Reviewed by AMAEDOLA on Juni 30, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by AMAEDOLA © 2025

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.