Menelusuri Istilah "Fohöli" dan Kekayaan Budaya Nias
Pulau Nias, yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera, adalah sebuah wilayah kepulauan yang menjadi rumah bagi warisan budaya yang kaya dan unik. Masyarakat Nias, yang dengan bangga menyebut diri mereka 'Ono Niha' atau "anak manusia," dan pulau mereka 'Tanö Niha' atau "tanah manusia," telah mengembangkan tradisi dan adat istiadat yang khas, membedakan mereka dari pulau-pulau tetangga di Sumatera.[1] Budaya mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, berfungsi sebagai pedoman fundamental dalam menjalani kehidupan sehari-hari.[2]
Sejarah Nias mencakup interaksi panjang dengan kekuatan eksternal. Catatan tertulis pertama mengenai Nias berasal dari seorang pedagang Persia bernama Sulayman yang berkunjung pada tahun 851. Pada abad ke-15, Kesultanan Aceh menguasai wilayah Nias, yang kemudian menyebabkan terjadinya akulturasi budaya. Keberadaan Nias juga diperhitungkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), terbukti dengan jalinan kontrak dagang pada tahun 1688 dan pendirian perwakilan dagang di Gunungsitoli, lengkap dengan pelabuhan dan gudang.[3] Masa penjajahan Belanda di Bumi Tano Niha secara resmi dimulai pada 1 Januari 1800, sebagai akibat dari kebangkrutan VOC.[4]
Mengenai istilah "Fohöli" dalam budaya Nias, penelusuran awal terhadap kamus bahasa Nias-Indonesia dan sumber-sumber terdokumentasi lainnya tidak menemukan definisi eksplisit dari istilah tersebut dalam konteks budaya atau adat Nias.[5] Namun, berdasarkan informasi yang diberikan oleh Fidelis Harefa,[6] saat diwawancarai sebagai salah satu narasumber dalam penelitian ini, "Fohöli" terdiri dari dua suku kata: "Höli" sebagai kata kerja yang berarti "serukan," dan awalan "Fo-" yang mengubahnya menjadi kata benda, "sesuatu yang diserukan." Salah satu contoh yang diberikan adalah, "Höli maena," yang berarti "serukan maena (tarian tradisional Nias)," memberikan pemahaman yang jelas tentang penggunaan istilah ini dalam acara adat.
Ketiadaan istilah "Fohöli" dalam sumber-sumber terdokumentasi, meskipun menjadi salah satu unsur penting yang harus dipahami, mengindikasikan adanya tantangan dalam dokumentasi tradisi lisan dan terminologi spesifik dalam budaya Nias. Leluhur Nias banyak mendasarkan cerita mereka pada narasi lisan atau yang disebut hoho. Namun, sastra lisan Hoho Fondrakö secara khusus dicatat "belum disusun secara sistematis dan proses pewarisannya tidak berlangsung dengan baik (terputus) dalam bentuk teks". Selain itu, disebutkan pula bahwa "para peneliti dari bangsa sendiri masih belum banyak yang mengetahui atau bahkan menjangkau tradisi lisan ini".[7] Situasi ini menggambarkan kesulitan yang melekat dalam studi antropologi dan etnografi budaya yang sangat bergantung pada tradisi lisan. Tidak seperti budaya tulis di mana istilah-istilah dikodifikasi, budaya lisan mungkin memiliki istilah yang sangat kontekstual, hanya diketahui oleh sub-kelompok atau tetua tertentu, atau belum tercatat secara sistematis. Kondisi ini menyoroti pentingnya upaya berkelanjutan dalam penelitian lapangan mendalam dan pelestarian bahasa di komunitas Nias, karena pengetahuan budaya yang berharga, terutama yang tertanam dalam bentuk lisan, rentan terhadap kehilangan jika tidak didokumentasikan dan direvitalisasi secara aktif.
Oleh karena itu, artikel ini akan berfokus pada penyajian tinjauan komprehensif mengenai dan pembahasan mendalam tentang "Höli" dan perannya dalam upacara adat Nias. Ini akan mencakup sistem hukum adat, upacara-upacara penting, kepercayaan tradisional, struktur sosial, dan nilai-nilai luhur yang menjadi ciri khas masyarakat Nias, sebagai bentuk respons terhadap minat pengguna terhadap kebudayaan Nias secara lebih luas.
Höli: Seruan dan Ajakan dalam Upacara Adat Nias
Berdasarkan penjelasan Fidelis Harefa, "Höli" adalah kata kerja dalam bahasa Nias yang berarti "serukan" atau "memanggil/mengajak." Ketika ditambahkan awalan "Fo-", menjadi "Fohöli," yang merujuk pada "sesuatu yang diserukan" atau "seruan/ajakan itu sendiri." Penggunaan "Höli" sangat relevan dalam konteks acara adat, seperti contoh "Höli maena" yang berarti "serukan maena," sebuah tarian tradisional Nias.
Penelusuran lebih lanjut dalam konteks upacara adat Nias menunjukkan bahwa "Höli" atau "Holi" memang digunakan sebagai ajakan atau aba-aba dalam ritual. Dalam upacara kematian, khususnya pada acara "Foko'o Simate," terdapat praktik "höli (ajakan)" yang dilakukan oleh "Ere Hoho" (pemimpin ritual). Ere akan memberikan aba-aba untuk memulai langkah menuju rumah duka dengan melakukan "höli." Setelah itu, Ere juga akan masuk ke depan peti jenazah dan kembali melakukan "höli (ajakan)" kepada para penari Folaya untuk menyahut syair dengan menghentakkan kaki dan menunjuk ke arah kanan atas, diikuti oleh sahutan kaum perempuan.[8] Ini menunjukkan bahwa "Höli" berfungsi sebagai isyarat verbal yang penting untuk mengawali atau mengarahkan jalannya suatu ritual.
Selain itu, istilah "höli-höli" juga ditemukan dalam konteks upacara pernikahan, khususnya dalam upacara "Fangowai" dan "Fame'e Afo." Meskipun tidak ada penjelasan rinci tentang maknanya, "höli-höli" disebutkan sebagai leksikon yang mengandung nilai kearifan lokal berupa pelestarian dan kreativitas budaya.[9] Hal ini mengindikasikan bahwa "höli-höli" bisa merujuk pada bentuk sorak-sorai, seruan kegembiraan, atau ekspresi kolektif lainnya yang menjadi bagian dari perayaan adat.
Dengan demikian, "Höli" dan turunannya "Fohöli" adalah elemen performatif yang vital dalam upacara adat Nias. Kata ini tidak hanya sekadar "menyerukan" tetapi juga berfungsi sebagai pemicu tindakan komunal, pengumpul perhatian, dan penanda dimulainya fase-fase penting dalam ritual. Keberadaannya dalam tradisi lisan dan ritual menunjukkan bagaimana bahasa Nias secara aktif membentuk dan memelihara praktik budaya.
Tinjauan komprehensif terhadap budaya Nias mengungkapkan sebuah masyarakat yang kaya akan tradisi, nilai-nilai luhur, dan sistem sosial yang terstruktur secara mendalam. Berdasarkan klarifikasi dari Fidelis Harefa, pemahaman tentang "Höli" sebagai kata kerja "serukan" dan "Fohöli" sebagai "sesuatu yang diserukan" telah memberikan wawasan baru tentang terminologi penting dalam upacara adat Nias, seperti penggunaannya dalam "Höli maena" dan "holi (ajakan)" dalam upacara kematian.
[2]Analisis makna famatörö töi ono nihalö (pemberian nama pengantin perempuan) di kabupaten nias - JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT, accessed July 1, 2025, https://journal.ipts.ac.id/index.php/ED/article/download/6437/3418/
[3]Sejarah dan Asal-usul Orang Nias, dari Leluhur hingga Usulan Pembentukan Provinsi Kepulauan Nias - KOMPAS.com, accessed July 1, 2025, https://medan.kompas.com/read/2022/02/24/182956078/sejarah-dan-asal-usul-orang-nias-dari-leluhur-hingga-usulan-pembentukan?page=all
[4]Sejarah Kabupaten Nias, accessed July 1, 2025, https://niaskab.go.id/sjkabnias
[5]Kamus bahasa Nias-Indonesia - Benyamin Ama Wohada Mendröfa ..., accessed July 1, 2025, https://books.google.com/books/about/Kamus_bahasa_Nias_Indonesia.html?id=1Fe5AAAAIAAJ
[6]Praktisi Hukum dan Akademisi, tinggal di Palangka Raya, Kalimantan Tengah
[7]1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua masyarakat memiliki tradisi lisan salah satunya adalah masyarakat Nias (sebagaimana, accessed July 1, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/58135/7/7.%20NIM.2162210011%20CHAPTER%20I.pdf
[8]FUNGSI FOLAYA PADA ACARA FOKO'O SIMATE DALAM ..., accessed July 1, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2724953&val=24778&title=FUNGSI%20FOLAYA%20PADA%20ACARA%20FOKOO%20SIMATE%20DALAM%20UPACARA%20KEMATIAN%20MASYARAKAT%20NIAS
[9]Leksikon dalam Upacara Inti Fangowai Fame'e ... - E-Journal UNDIP, accessed July 1, 2025, https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/wicara/article/download/16790/pdf

Tidak ada komentar: